Selasa, 01 November 2011

Abu..

Malam itu ia mengunjungiku lagi dengan sebuah misi yang di otaki oleh Lelaki menyebalkan itu. Aku menyambutnya dengan suka cita, maklum seminggu sudah kami tak bertemu, meski kami sebelumnya sudah terbiasa tinggal berjauhan, namun selama ia di Jakarta intensitas pertemuan kami memang jadi lebih sering. Kali ini ia menemuiku dengan wajah kusut, kesan tampan khas laki - laki remaja negeri tirai bambu yang biasa nampak pada nya kini tak sedikitpun terlihat. Ada luka yang ku tangkap dari sorot matanya yang sipit namun tajam. Ia nampak sangat kelelahan, tiba ditempat kostku, ia menghempaskan tubuhnya di kasurku, aku tak mengatakan apapun, aku duduk dibawah kasur sambil menonton tivi dan membuka dompetku, beberapa ratus ribu ku keluarkan dari dompetku, lalu tiba - tiba ia terbangun dan membetulkan posisi duduknya.

"Oia, kak, ini es krim pesananmu" ujarnya sambil membuka tas gendong yang ia bawa, ya itu adalah kalimat pertama yang keluar semenjak pertemuan kami kali ini.
"Oh, habis berapa uangmu untuk beli eskrim ini?" tanya ku sambil mengambil satu magnum almond favoriteku.
"Hm, 20ribu kak." Ujarnya singkat sambil mulai melahap eskrimnya.

Aku keluarkan lagi uang 20dua puluh ribuan dan menyerahkannya berikut dengan uang beberapa ratus ribu yang memang menjadi misinya kali ini mengunjungiku. Aku tahu ini bukan keinginannya, jadi aku tetap tak terganggu. Diam - diam aku mengamati ekspresinya saat melahap eskrimnya, ahh, adikku, benarkah kau belum pernah sekalipun mencicipi eskrim ini?maafkan aku karena aku baru bisa membuatmu merasakannya kali ini.ucapku membatin dengan air mata yang mulai menggenang, untung air mata itu tak jadi jatuh karena sebuah acara tv yang sedang kami tonton memecah kesunyian diantara kami. Selama beberapa menitpun kami tertawa - tawa, hanyut oleh acar tv tersebut, namun luka yang dia simpan sungguh tak bisa disembunyikan dlam jangka waktu yang lama, ia kembali terdiam setelah eskrimnya habis, ada sorot mata penuh luka yang tampak dari matanya lagi, entahlah setiap kali ia murung, maka seolah wajah vic zhou pun sirna dari wajahnya. Sesak rasanya, aku tahu itu luka, aku tahu itu air mata tertahan darimu dik, maka ku beranikan bertanya padanya, meski dengan kata yang terbata.

"Ada apa, dik?" tanyaku berusaha sebiasa mungkin.
"Kak, tahukah kau?aku sekarang menjadi seorang anak remaja yang paranoid terhadap ayahku sendiri setiap aku melakukan sedikit saja kesalahan" ujarnya dengan suara parau, seperti tercekat dalam tenggorkannya.
Seketika aku terhenyak, ah adikku, kau terlalu muda untuk merasakan apa yang ku rasakan dulu saat akupun tinggal bersama ayah kita. Maka sekuat hati ku beranikan diri pula untuk bertnya padanya.
"Memang kenapa?ah, maksudku paranaoid gimana?" begitu ujarku tanpa menatap matanya sedikitpun, aku takut air mata kami jatuh, aku tahu sebenarnya dia juga menyadari bahwa aku mengetahui lukanya.
"Kau tahu kan tv di rumah ayah?sering berubah settingannya jika kau tak sengaja menekan tombol yang salah?" ujarnya kemudian, aku mengangguk cepat dan ingatanku pun terbang pada saat dimana aku pernah melakukan kesalahan yang sama seperti adikku, dan ayah kamipun murka bukan main kepadaku, padhal hal itu sangat sepele.
"Iya, kau tahu kan, ayah pasti sangat marah padaku, begitu tahu settingan tv nya berubah?dan kau juga tahu kan, pada saat aku gugup, aku akan semakin sering melakukan kesalahan?maka saking ketakutannya aku, aku menulis semua langkah - langkah untuk mengembalikan settingan tv itu sesuai dengan settingan ayah, sebelum aku merusaknyaa, aku mencatatnya dalam hpku, jadi ketika aku tidak sengaja menekan tombol yang salah, maka aku bisa dengan segera mengembalikannya ke settingan ayah. Kau tahu bagaimana rasanya?itu sangat menakutkan bagiku" Ujarnya dengan senyum getir dan mata memerah karena air matanya menggenang seakan siap tumpah, jujur saja, sebenernya saat itu juga aku ingin sekali memeluknya, menguatkannya agar ia tetap kuat dan sabar menghadapi ketakutan - ketakutan yang ia alami selama tinggal dengan ayah, kau terlalu muda, Abu. Ya terlalu muda untuk mengatasi ketakutanmu sendirian. Aku mengerti perasaan mu Abu, karena sebelum kau, aku juga sudah mengalaminya. Kita tidak bisa menyalahkan siapa - siapa atas sikap ayah, atau memprotes Tuhan karena telah menakdirkan kita sebagai anak dari lelaki kejam itu. Yang bisa kita lakukan hanyalah bersabar, Abu, sabar.
Aku menggenggam tangannya kuat - kuat, ia melihat genangan di sudut mataku yang hendak tumpah, menyadari itu ia langsung menghiburku dengan mengatakan hal - hal lucu yang membuatku urung menangis, lalu dengan lirih ia berkata.
"Aku kuat Kak, asal aku bisa segera pergi dari tempat ayah."
Ya itu yang Abu ucapkan padaku, aku tk bisa menahannya untuk tetap bertahan di Kota ini, meski aku sangat menginginkannya, karena aku tahu kota ini tak lebih dari sekedar sarang duka baginya, ya bersabarlah Abu. Sebelum ia kembali ketempat ayah, aku berpesan padanya agar ia tumbuh menjadi seorang lelaki baik - baik yang penuh ketakutan hanya kepada Tuhan, bukan kepada makhluk seperti ayah kami. Ya Abu, kau adalah harapan pertamaku untuk menjadi tauladan yang baik bagi adik kita Raziq. Bersabarlah Abu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar