Selasa, 02 Agustus 2011

Senja di Kuninga (2)

Tiba di rumah aku langsung merebahkan tubuhku setelah selesai mandi dan shalat dzuhur, ini ku lakukan demi menghindari pertanyaan orang tuaku tentang hubunganku dengan Mas Andra, namun belum lama mataku terpejam, ibu mengetuk pintu kamarku dan menghampiriku. Aku mau tak mau kembali membuka mataku, ibu menatapku penuh arti, seolah memintaku untuk menjelaskan soal kelanjutan hubunganku dengan Mas Andra, aku bangun dan duduk di samping kasur.
"Gimana, Fal?" tanya ibu sambil ikut duduk di kasurku
"hm, entahlah bu, Fal bingung Ibu Mas Andra belum juga memberi restu, sementara Mas Andra juga tak memberi Sha kepastian tentang bagaimana hubungan kami saat ini." Ujarku sambil menahan air mataku yang nyaris tumpah lagi, aku memandang ibu sekilas, nampak gurat - gurat kesedihan di wajah teduhnya.
"Kalau begitu, istikharohlah nak." Ucap ibu sambil menggenggam jemariku. Aku mengangguk pelan, meski dalam hati tak yakin hubungan kami bisa bertahan.
"Andra sudah telpon kamu belum?atau kamu sudah kabari dia, kamu sudah sampai dengan selamat?" Tanya ibu bertubi - tubi.
"Belum bu, biar sajalah, biar dia yang menghubungi Falisha duluan, katakanlah Sha sekarang sedang mencoba egois, Sha cuma ingin tahu, apakah Sha masih penting atau tidak baginya, bu" Ucapku sambil kembali membaringkan tubuhku di kasur. Ibu nampak pasrah dan membiarkan ku beristirahat dengan meninggalkan kamarku. Aku pun tertidur pulas sampai adzan ashar berkumandang, ku lihat lampu BB ku berkedip - kedip, jangan - jangan Mas Andra mengirimiku BBM, fikirku, buru - buru ku raih Hp ku, ahh ternyata bukan, itu dari rekan kerjaku, titip oleh - oleh katanya. Ku lirik jam di kamarku, sudah jam setengah 4, dan dia belum juga menghubungiku, baiklah tak perlu menunggu lagi aku sudah tahu jawabannya, mungkin kami memang harus berpisah, aku segera berwudhu dan mendirikan shlat ashar, dalam sujud panjangku, kuminta banyak hal pada Nya, salah satunya tentang hubunganku dengan Mas Andra, sungguh aku tidak ingin terjebak dalam sebuah hubungan yang disebut Pacaran, aku bersedia menjalin hubungan dengannya, itu karena kami berdua sepakat untuk menikah bulan depan, tapi jika izin saja belum kami kantongi dari orang tuanya lantas kapan kami akan menikah?lalu apa namanya hubungan kita saat ini? Ya Allah, sungguh aku ingin benar - benar kau mudahkan segalanya, jika memang kami tidak berjodoh, biarkan kami terpisah dengan mudah, pun jika kami berjodoh, persatukan kami dengan jalan yang mudah ya Rabb. Selepas Shalat, aku menatap jemari kiriku, ku tatap cincin emas putih itu, lalu ku lepas cincin itu dengan air mata yang tiba - tiba menetes, ku letakan cincin itu di atas meja belajarku. Setelah sholat aku memutuskan untuk pergi ke mesjid disamping rumahku, disana sedang ada anak - anak yang sedang mengaji, ah sungguh aku rindu dengan suasana seperti ini, tawa riang anak2 kecil yang tertawa mendengar aku bercerita 4 tahun lalu, ya semasa SMA dulu, aku mengajari mereka mengaji di mesjid ini, sore ini ku injakan kembali kaki ku di mesjid yang kini nampak lebih megah dari 4 tahun yang lalu, ku lihat wjah2 anak kecil itu asing bagiku, saat aku hendak naik ke lantai 2, seseorang memanggilku.
"Assalamu'alaikum" ujar seseorang yang ternyata Ustadz Abdulah, guru mengaji ku sejak kecil, aku kaget namun bahagia, karena aku jarang pulang ke kuningan dan jarang bertemu dengannya saat aku pulang.
"Wa'alaikumussalam, ustadz" ucapku sambil menelungkupkan tangan di dadaku, begitupun beliau.
"Lagi pulang Nenk?" Tanya ustadz Abdulah
"iya, ustadz, heheh, ustadz lagi ngajar kelas berapa?" Tanya ku kembali
"Lagi ngajar kelas 2 diniyah, tapi ini ustadz mau ke rumah dulu, karena ada tamu katanya, kebetulan ada si Nenk Falisha nih, boleh gantiin ustadz sebentar gak?" pinta ustdz Abdulah kemudian, aku terkejut, hah bagaimana bisa aku diminta untuk menggantikannya mengajari anak2 itu?aku merasa kualitas ruhiyahku sudah jauh berbeda dengan aku yang dulu saat masih SMA, saat ghiroh mengajar dan berdakwah begitu kuat. Ustadz Abdulah terlihat berharap banyak padaku untuk menggantikanku, akhirnya aku mengangguk lembut, lalu ustadz Abdulah pun segera berpamitan pulang ke rumahnya. Aku segera menuju sisi lain mesjid itu di lantai satu, ada hijab yang memisahkan antara satu kelas ke kelas lainnya, suasana riuh oleh suara anak - anak yang sedang mengaji memberikanku atmosfir yang sama, atmosfir yang aku rasakan 4 tahun lalu saat ghiroh dkwahku masih begitu menggebu - gebu, sungguh Rabb, ini yang aku rindukan, tawa renyah anak2 kecil itu, suara indah mereka ketika melantunkan ayat al qur'an, sungguh membuatku sejuk dan terlupa akan masalah ku dengan Mas Andra. Lalu jam menunjukan pukul setengah 6 sore, waktunya mereka bubar.
Setelah mereka bubar, aku meraih mushaf kecilku dari saku gamisku, aku bersender di tiang penyangga mesjid itu, ku baca beberapa ayat surat Ar-rahman Favoritku, ternyata keberadaanku terlihat jelas dari arah luar mesjid, karena itu ustadz Abdulah menghampiriku namun ia tak sendiri datang ke mesjid, aku lihat ada sesosok pria berkaca mata minus yang menungguinya di depan mesjid dengan sepeda motornya. Tapi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, padahal jarak kami tidak terlalu jauh, maklum mataku juga minus,heheh.
"Kebetulan, kamu belom pulang nenk." Ucap ustadz Abdulah saat menghampiriku.
"Iya ustadz, saya pengen tilawah dulu sambil nunggu maghrib, ada apa yah ustadz?" Tanya ku keheranan, karena beliau tadi menyebut, kebetulan.
"Ah, enggak sih, cuma mau tanya, Kamu kenal sama Akhi Fayaz yah?" Tanya nya tiba - tiba.
"hah?Akhi Fayaz?akhi Fayaz mana yah ustadz, saya kayaknya gak kenal dech. Memang kenapa?" Tanya ku kemudian sambil menutup resleting qur'an kecilku.
"Oh, begitu yah?" ucapnya sambil menatap ke luar ke arah pria berkacamata minus itu, yang entah siapa. Lalu ketika ustadz Abdulah hendak berbicara lagi, HP ku berderit derit, telpon masuk rupanya, ah Mas Andra rupanya. Aku langsung mengkatnya.
"Assalammu'alikum mas" Ujarku
"Wa'alaikumussalam, kamu sudah sampai?kok gak kabari aku?"ucap mas Andra di telepon
"Oh, maaf mas, tadi aku cape banget, tapi aku sudah sampe kok dengan selamat" ujarku sambil mengulas senyum tipis. Ustadz Abdulah tiba - tiba memberikan isyarat padaku, bahwa ia pamit, aku mengangguk masih dengan telepon yang terhubung dengan Mas Andra.
"Oh iya, ayah dan Ibu mu tanya soal kita nggak?" Tanya nya kemudain setelah ustadz Abdulah dan rekannya pergi.
"Iya, tanya." Jawab ku murung.
"Terus kamu jawab apa?" Tanya Mas Andra kemudian.
"Aku jawab apa adanya saja, aku juga bingung mau jawab apa Mas" ujarku dengan air mata yang mulai menggenang.
"Yasudahlah, kita masih muda ini kan, masih banyak waktu untuk kita meyakinkan hati orang tuaku untuk mengizinkan kita menikah, sekarang kita jalani saja apa yang ada, yah" Ucapnya kemudian dan mengejutkanku.
"Maksud mas, kita tetap berhubungan, meski Mas belum tahu kapan kita akan menghalalkan hubungan kita?" Tanya ku dengan intonasi terberat, karena aku jujur sangat keberatan jika kami tidak langsung menikah dan malah menyandang status berpacarn hingga waktu yang tidak bisa ditentuka.
"Iya, gak apa - apakan, Fal, lagian kamu juga masih muda, ngapain buru - buru kan?salah satu alasan Ibu ku tidak menyetujui pernikahan kita itu ya karena kita terlalu cepat mengambil keputusan untuk menikah." Ucapnya begitu ringan, tidak kah ia memikirkan bagaimana perasaanku, bagaimana dengan prinsip yang ku pegang setelah aku hijrah?bahwa aku tidak mau berpacaran sebelum menikah?aku tertunduk lesu dan HP ku pun tiba2 mati, karena batre ku lowbatt. Ini menolong sekali, karena aku butuh sendiri dulu, memikirkan baik2 masalah ini, aku tak boleh menangis disini, ku tatap lapadz Allah di mihrab mesjid dengan nanar, Ya Alloh, aku segera berlari ke tempat wudhu dan bergegas pulang. Adzan maghrib pun berkumandang, ayahku yang sedang bersiap -siap ke mesjid menatapku heran.
"Lah, Fal, kamu adzan maghrib kok pulang, bukannya sholat di mesjid dulu." ujar ayah, aku tak menjawab pertanyaan ayah dan malah langsung masuk kamar dan shalat maghrib, aku tergugu dalam sujud terakhirku, meminta petunjuk Allah, ya Allah apa ini jawaban shalat asharku tadi?apa yang diinginkan Mas Andra bertentangan dengan prisnsipku, mungkin memang aku sudah seharusnya mengakhiri semua ini dengan Mas Andra. Pintu kamarku diketuk, kepala adikku Dimas menyembul, "Teh, makan dulu yuk, disuruh ibu" ucapnya dengan wajah jenakanya itu, aku mengangguk dengan senyum tipis. Ku charge HP ku, lalu ku tinggal makan malam bersama keluargaku di rumah. Aku tak bersuara sedikitpun, hanya 2 adikku saja yang berceracau berebut makanan, sesungguhnya aku kehilangan selera makanku, tapi ku paksakan demi menghargai ayah ibu ku, Ayah sepertinya faham kondisiku.
"Kenapa, Fal?masakan Ibu gak enak?" Tanya ayah kemudian.
"Ah enggak kok, yah.heheh.ini aku makan lahap begini" ujarku sambil memaksakan senyum.
"Kenapa? Si Andra itu gak jadi nikahin kamu?" Ucap ayah membuat aku dan ibu tersedak, maklum aku dan ibu sepakat merahasiakan dulu perihal permasalanku dengan Mas Andra.
"Loh kenapa ini?kok ibu sama Falisha jadi tersedak berbarengan begitu?" ujar ayah menatap aku dan ibu bergantian.
"Enggak begitu kok, Yah. Mungkin memang seharusnya kami putus saja yah. " Ucapku sambil memaksakan sebuah senyum lagi.
"Loh kenapa kok begitu?dia kan sudah meminta kamu sama Ayah." Ujar ayah sambil meletakan sendoknya di piring hingga menimbulan bunyi yang agak mengejutkan.
"Ibunya belum juga memberikan ridhonya untuk kami yah, dan Mas Andra ingin kami untuk tidak tergesa - gesa menikah demi meyakinkan ibunya untuk meridhoi kami." ujarkua pelan - pelan, aku tidak ingin ayah tersulut emosinya.
"Terus maksudnya gimana?belum mau nikah dan masih ingin pacaran dulu?kalo begitu itu berseberangan dengan prinsip kamu donk?" tanya ayah masih menatapku lekat - lekat, aku masih tertuduk dalam.
"Iya, makanya, Fal rasa, sebaiknya kami akhiri saja hubungan kami, Fal tidak mau terjebak dalam status pacaran, yah." ujarku dengan tetap menundukan kepalaku.
Ayah yang nampak begitu kecewa, terlihat berusaha menenangkan hatinya sendiri dan menyuruh kami untuk melanjutkan makan malam kala itu.
Selepas makan malam, aku segera menuju kamarku, ku lihat ada BBM masuk.

Andra : Kok telponnya mati?
            Aku tahu kamu kaget, tapi apa yang aku bilang tadi bener kok, ngapain coba buru - buru?
            Nanti aku yang jelasin sama Ortu kamu, kalo kita pasti tetep nikah kok, cuman waktunya aja,
            Gak sekarang, fal..
            Fal..fal..haloooo
            fal?are u there?
           Falisha..

Mas Andra mengirimu text beberapa kali saat HP ku di charge, aku segera membalas pesannya itu di BBM.
Falisha : just finished dinner, mohon maaf, tapi memang sebaiknya kita akhiri saja hubungan kita, karena apa    yang Mas inginkan itu berseberangan dengan prinsip saya yang Mas tahu betul. Semoga Mas memahami, saya tidak menyalahkan siapa - siapa, tapi memang kita sudah seharusnya mengakhiri ini semua.
Andra : What?
            Are u serious?Fal you still young. I know your principal, but we have to think moderat, km cantik,
           cerdas dan modern, lalu kenapa harus terbelenggu dengan prinsip bodoh yang menganggap tabu 

            pacaran sebelum menikah?
 
Aku tersentak membaca BBMnya, ya rasanya sekarang Allah sedang menunjukan siapa Mas Andra sebenarnya.

Falisha : "Hati - hati anda bicara, ini bukan sebuah prinsip bodoh, tapi sudahlah saya tidak mau lagi berdebat, silahkan cari lagi wanita yang jauh lebih baik dari saya yang lebih cocok dengan cara pandang anda. Terimakasih.

Ku ketik pesan itu dengan hati yang teramat kesal dan kecewa, bagaimana mungkin sosok dewasa dan cerdas itu bisa memiliki pemikiran yang seperti itu?sosok yang ku kenal rajin beribadah, hah, astagfirullah.
Tak lama sebuah BBM masuk lagi, balasan Mas Andra rupanya.

Andra : ABSOLUTELY!!!!!!!!!!!

Ada kesal disana, ada marah juga, namun tak sedikitpun air mata tumpah dari 2 sudut mata ini, biarlah ya Allah, jadikan aku kuat dengan putusnya kami.

2 komentar:

  1. semangat bos!

    semoga happy ending ^_^

    BalasHapus
  2. hahaha..

    lg gak mood nerusin nulisnya, om >_<
    jd belum kebayang endingnya kyk apeuu *tepokjidat

    BalasHapus