Rabu, 16 November 2011

Satu

Entahlah, dari semua orang yang dikenalkan padaku, cuma gadis semi remaja itu saja yang nampak begitu tulus menerima ku, bahkan Abangnya saja aku ragu bisa begitu. Saat tatapan - tatapan meremehkan dari semua anggota keluarganya yang membuatku ingin kabur dari tempat itu saat itu, sesosok gadis semi remaja yang kurus dan berambut agak ikal menyalamiku ramah dengan senyumnya yang manis.
"Hai, kak, kakak kak Sarah yah?" Ujarnya sambil mencium punggung tanganku.
Ada kehangatan yang melelehkan hatiku karena dinginnya AC diruang tamu itu juga karena sikap dingin anggota keluarganya saat itu.
"Iya sayang, kamu siapa?ah ini Runi yah adiknya Bang haifidz?" Tanyaku sambil menyentuh pipinya lembut, Runi ya gadis itu yang saat itu masih duduk di bangku kelas satu SMP nampak yang paling antusias berkenalan denganku dibanding yang lainnya. Bang hafidz yang telah menjadi suamiku kini nampak begitu kikuk ketika Ayah Ibu nya memanggilnya ke kamar mereka, ia nampak enggan meninggalkanku di ruang tamu bersama para saudara - saudaranya yang nampak jelas tidak menyukaiku, makin terlihat jelas saat pernikahan kami di kampung halamanku di Semarang, tak satupun dari keluarga inti bang Hafidz yang menghadiri pernikahan kami. Rumah mewah ini nampak begitu asing dan seram bagiku, karena meski penghuni ini banyak namun hanya Runi yang mau beramah tamah padaku, sebenarnya aku ingin sekali bercengkrama dengan mertuaku, tapi mereka menarik diri, tidak berkata apa - apa memang, namun didiamkan itu memang lebih menyakitkan, aku termenung sendiri, satu persatu orang yang di ruang tamu beranjak pergi meninggalkanku tanpa suara, tantenya, pamannya, dan nina sepupunya semua pergi, aku nyaris saja menangis sampai ku lihat Runi tetap di tempatnya, Runi tetap duduk di ruang tamu menemaniku, aku meliriknya lalu Runi pun melihat ke arahku sambil bergeser lebih dekat ke arahku, aku senang.
"Kak, ceritain donk kemarin waktu kakak nikah acaranya gimana?kakak pake baju apa?aku mau lihat donk." Ujar Runi nampak antusias, aku pun segera mengeluarkan laptop ku, ku perlihatkan foto - foto pernikahan kami. Runi nampak terkagum - kagum beberapa kali ia memujiku.
"Wah, kak Sarah cantik banget, sayang kita gak bisa datang, habis Teh silvy gak ngebolehin, huh payah tuh dia" Ujar Runi nampak kesal, ahh Runi aku jadi teringat kembali insiden sebelum kami menikah kemarin.
"hehehe, Runi bisa saja, nanti Runi kalo nikah juga bisa lebih cantik dari kak Sarah kok " ujarku tersenyum. Lalu saat aku dan Runi sedang asyik mengobrol, tiba - tiba terdengar suara sebuah mobil memasuki pekarangan rumah mertuaku yang megah itu. Tak berapa lama muncul seorang perempuan cantik yang nampak tergesa - gesa memasuki rumah, begitu masuk dan melihatku, wajahnya langsung berubah muram. Aku kaget dan segera bangun dari tempat dudukku, ku sapa wanita cantik itu yang ternyata adalah kakak kandung Bang Hafidz, ya Teh Silvy.
"Assalammu'alaikum Teh silvy, apa kabar?" ujarku seramah mungkin padanya, namun reaksi yang ku terima justru mengecewakanku. Teh silvy menepis tanganku dan membetulkan sasakan rambutnya yang nampak agak mengsong karena angin.
"Mana Hafidz?Kurang ajar banget jadi adik, gak mau dengar kata - kata kakaknya." Ucapnya setengah berteriak tanpa memandangku, aku terluka namun saat aku hendak menjawab, Runi lalu bangkit dari duduknya, "Teh, teh silvy apa - apaan sih?gak usah pake teriak - teriak gitu bisa kali, kasihan kan Kak Sarah" Ucap Runi membela ku. Tapi Teh Silvy malah menatap tajam Runi.
"Heh, anak kecil gak usah ikut campur yah!!dimana Hafidz sekarang?" Tanya Teh Silvy pada Runi. Lalu Runi menggamit lenganku dan membawaku ke ke taman belakang sambil berujar pada Teh Silvy, "Mana gue tahu!!!" ujarnya. Teh Silvy nampak begitu marah pada kami, aku merasa bersalah padanya, semua ini karena aku ya karena aku, andai saja Bang Hafidz tidak bersikeras menikahiku, pasti perpecahan di keluarganya tidak akan terjadi.
Sementara itu dikamar mertuaku..
"Fidz, kamu ini gimana sih?Ibu kan udah bilang, keinginan adikmu itu jangan dibantah, ari tos kieu kumaha jadina, Ibu sarena bapa oge nu jadi pusing." ujar ibu mertuaku dengan bahasa yang campuran. Bang hafidz hanya terdiam tak berbicara sepatah katapun, ia tertunduk dalam.Ayah mertuaku tak berkomentar apapun, Ibu terus menerus mengeluh pada Bang Hafidz, namun Bang Hafidz tetap diam, tak lama pintupun diketuk dengan kencang seolah si pengetuk tak sabar ingin masuk, semua yang ada di kamar itu, "Haduh, itu si silvy udah datang lagi, Pak kumaha ieu?kumaha?" tanya Ibu mertuaku panik, Ayahku nampak tak bergeming dan malah membukakan pintu kamarnya.
"Sil, bisa kan kau pelan - pelan saja, bapak dan Ibu mu tak Tuli !!" ujar ayah mertuaku dengan logat khas tapanulinya yang kental.
"Maafin silvy ayah, tapi silvy geram dengan tingak anak laki - laki kesayangan ayah ini." ujar teh silvy sambil menyerobot masuk ke kamar orangtuanya mencari sosok Bang Hafidz.
"Heh!!masih berani kamu datang ke rumah ini?setelah tak mau mendengar kata - kataku, sekarang kamu balik lagi ke rumah ibu dan bapak dengan membawa perempuan kampungan itu?" Ujar teh silvy dengan mata memerah. Bang hafidz masih tetap diam, ia tak mau berdebat dengan kakak kandungnya sendiri didepan orang tuanya, namun teh Silvy menarik tubuh Bang Hafidz agar ia berdiri dari tempat duduknya dan menjawab pertanyaannya.
Bang hafidz geram, "Teh, aku ini adik lelakimu, aku berhak menikahi siapapun perempuan yang aku kehendaki, lalu kenapa teteh begitu membenci Sarah?membenci pernikahan kami?" Ujar Bang Hafidz tegas, ada genangan air mata dari sudut matanya.
"Iya, kamu memang berhak menikahi semua gadis yang kamu kehendaki, tapi tidak berarti Sarah, wanita yang sama sekali tidak kau cintai, Fidz" Ujar Teh silvy membuat langkahku terhenti dibalik tembok kamar mertuaku yang pintunya terbuka saat aku hendak pergi ke kamar mandi yang terletak di samping kamar mertuaku.
"Aku memang belum mencintainya, tapi aku yakin aku bisa mencintainya teh, lagi pula insya Alloh pernikahan yang aku laksanakan ini mengandung kebaikan karena..." Ucapan Bang hafidz tertahan, aku limbung mendengar ucapannya, mataku nanar, rasanya aku tak menginjak bumi.
"Kebaikan apanya, hah?!kamu merasa baik karena telah menjadi pahlawan yang telah menyelamatkan nasib pernikahannya dengan sahabatmu yang meninggal itu hah?" Ujar Teh silvy dengan nada meninggi, aku makin tak kuat, aku limbung, aku terduduk di lantai. Suara Bang Hafidz kembali terdengar, "Teh, aku mohon hargai pilihan hidupku, Arif adalah sahabatku, dan aku tahu Sarah adalah muslimah yang baik, proses ta'aruf mereka aku yang membantu, jadi saat Arief meninggal ketika menuju akad nikah, aku merasa bertanggung jawab, kami memang boleh berduka, tapi nama baik keluarga Sarah tak boleh tercoreng dengan gagalnya pernikahan mereka." Ujar Bang Hafidz dengan sungguh - sungguh, detik itu aku menyadari bahwa pria tampan yang menikahiku seminggu lalu hanya menikahiku karena kasihannya, aku memakluminya. Ayah mertuaku keluar dari kamar itu dan memergoki aku yang terduduk sambil menangis, untuk pertama kalinya ia berbicara padaku.
"Sarah, kenapa pula kau duduk dibawah sini?ada pa nak?" tanya nya meski agak keras namun tetap terasa lembut. aku menghapus air mataku dengan cepat mencoba bersikap tak ada apa - apa didepan ayah mertuaku. aku berkata tidak apa - apa dengan lirih, saat ingin bangkit, aku tak bisa kakiku lemas, ayah mertuaku panik dan memanggil Bang Hafidz, "Fidz, hafidz kesinilah kau, istrimu sakit." ujar ayah mertuaku berteriak, ku lihat Bang Hafidz dengan tergesa keluar dari kamar mertuaku dan menghampiriku, disusul dengan Ibu mertua dan kakak iparku, teh Silvy.
"Kamu kenapa dik?sakit?" ujar Bang Hafidz cemas, aku tak sanggup berkata dengan suara keras, malu pula, karena sebenanya lelaki dihadapanku ini tak ubahnya hanya seorang pria asing yang tak mencintaku meski ia suamiku, "Dik Sarah?baiklah abang gendong kamu ke kamar yah" ujar bang hafidz mengangkat badanku, aku yang memang saat itu tak punya cukup tenaga untuk menolaknya akhirnya dipangkunya ke kamar bang Hafidz di lantai 2, sayup - sayup terdengar suara Teh silvy menggerutu kepada Ibu mertuaku, "Tuh bu, tingali wae, can nanaon oge tos ngaripuhkeun, tuh Pak macam mana pula sih pak dia itu." Ujar Teh selvy membuat pipiku makin basah, Bang Hafidz bersikap seolah tak mendengar apapum, ia terus naik ke lantai 2 sambil membawa tubuhku yang agak berat ini. Sampai dikamarnya aku duduk dikasurnya, ini pertama kali aku masuk ke kamarnya, rapi dan indah seperti pribadinya, Bang Hafidz membungkukan badanya dan mengusap lembut pipiku, "Dik, ada apa?bukankah tadi kamu yang bersemangat ingin bertemu keluargaku?katanya kuat?kok sekarang nangis begini." Ujar Bang Hafidz lembut, lelaki peranakan Medan Sunda ini memang begitu tampan, kulitnya yang putih bersih dengan hidung mancung, mata sendu dan janggut tipis didagunya itu sungguh sangat membuatku jatuh cinta pada saat ia mulai mengucapkan ijab qabul di akad pernikahan kami, tapi begitu mendengar ucapannya tadi pada kakak dan orang tuanya, aku merasa terpukul dan tak patas bersanding dengannya, dan menyandang gelar Nyonya Hafidz Nasution. Pria itu terus menatapku dengan mata sendunya, aku?aku terus menangis mengingat semua itu, melihatku tetap menangis, Bang Hafidz memeluku, ada damai disana, namun aku semakin sakit. Aku melepas pelukan Bang Hafidz setelah aku merasa aku tak pantas ia peluk. Bang Hafidz nampak terkejut, "Maaf Bang, jika memang benar abang menikahi saya hanya karena abang kasihan pada saya, maka abang boleh ceraikan saya saat ini juga." Ujarku dengan perasaan sakit yang dalam di hati. Bang Hafidz benar - benar menunjukan expresi terkejutnya, barangkali bingung mengapa aku tahu semua hal itu.
"Dik, kamu ini bicara apa sih?aku tidak mengerti, sudahlah dik jangan main - main dengan perceraian, sampai kapanpun aku tidak akan pernah menghancurkan rumah tanggaku sendiri, aku takut saat nanti dimintai pertanggung jawaban oleh Allah nanti." Ujar Bang hafidz sambil berdiri.
"Meski pernikahan itu tidak atas dasar cinta?melainkan hanya karena belas kasihan?" ujarku dengan suara bergetar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar